Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa di SD Negeri Karangjati Memaknai Lakon Dewa Ruci

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa di SD Negeri Karangjati Memaknai Lakon Dewa Ruci
Admin 2024-02-07 01:30:17

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa di SD Negeri Karangjati Memaknai Lakon Dewa Ruci

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Karangjati, Jl. Plosokuning Raya, Ploso Kuning II, Minomartani, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Rabu, 7 Februari 2024. Sebelum pentas wayang, acara di isi kata sambutan mengenai penanaman nilai-nilai budaya dari Indriati, S.Pd, selaku kepala seklolah SDN Karangjati, dan Dekhi Nugroho, SE, M.Ec.Dev selaku Kepala Seksie Warisan Budaya Takbenda Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) kabupaten Sleman. Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon Dewa Ruci yang disajikan oleh Dalang Ki Geang Bayu Tetuka. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Lakon ini mengisahkan tentang Bratasena meraih kesempurnaan ilmu, namun oleh Begawan Durna diminta untuk mencari air kehidaupan “Tirta Pawitra Mahaning Suci” dengan syarat harus memasuki Segara Minang Kalbu, Durna pun menjelaskan jika Segara Minang Kalbu berada di tengah-tengahnya samudra yang terbentang luas, di dalam samodra badannya terombang-ambing, terhempas serta diterjang ganasnya gelombang laut lepas, ibarat kapas dipermainkan tiupan angin kencang. Bima pasrah akan nasib dirinya karena kebulatan tekadnya tak menggoyahkan semangatnya. Betapa kagetnya ketika tiba-tiba di hadapannya, muncul seekor naga besar menghadang. Naga itu berjuluk Kyai Namburnawa, yang langsung menyerang Bima. Naga itu menggigit pahanya. Kemudian ekornya terhempas serta merta membelit tubuhnya. Bima menggeliat, menggelepar, menahan diri dengan sekuat tenaganya untuk melawannya. Bergulat dengan Kyai Namburnawa, spontan badan Werkudara mengikuti gerakan-gerakan Naga itu, agar tidak luluh serta hancur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan sang naga. Saat itu Bima lepas dari himpitan, kemudian melesat menuju leher sang naga, secepat kilat tangannya meraih kepala naga, dengan Kuku Pancanaka. Raung kesakitan yang memekakkan telinga mengiringi jatuhnya sang naga. Bratasena tampak begitu lelah, jiwanya seakan melayang, bak kehilangan kesadarannya. Cukup lama jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu ujung rimbanya. Pada saat tersadar, dan membuka matanya pelan-pelan, kakinya seakan menginjak tanah. Perlahan pandangannya semakin jelas seakan dirinya berdiri pada pulau kecil di tengah lautan luas. Bima terbuai oleh ketakjuban, dan tiba-tiba semakin dikejutkan dengan munculnya Bocah Bajang yang bersamaan oleh cahaya yang menyilaukan matanya. Cahaya di atas Cahaya. Bocah Bajang itu sungguh kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan perawakan Bima. Bocah Bajang berjalan perlahan menghampirinya. Ilmu kesempurnaan hidup ini akan diperoleh bila telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung lagi kepada keinginan-keinginan duniawi lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia masih menggunakan daya panasnya matahari, daya semilirnya angin, segarnya air dan masih menginjak bumi di bawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna karena yang sempurna itu hanyalah Sang Pencipta.