Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2022-03-03 00:48:20

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Dalangan I Parakan Kulon, Sendangsari, Minggir pada Senin, 21 Februari 2022. Sebelum pentas wayang, acara di isi paparan materi mengenai penanaman nilai-nilai budaya dari tiga orang narasumber yaitu: Edy Winarya, S.Sn., M.Si, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman; Ratma Rintarti, A,Ma.Pd, Kepala Sekolah SDN  Dalangan I Parakan Kulon, Sendangsari, Minggir dan Teguh Suyanto, S.Sn., Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi).

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Aji Narantaka/ Raden Dursala Gugur yang disajikan oleh Dalang Rafael Aron Javera Paramacetta. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Aji Narantaka/ Raden Dursala Gugur merupakan lakon wayang yang mengisahkan dua tokoh yang antagonis yaitu Raden Dursala yang mempunyai sifat antagonis dari Raden Gathutkaca. Raden Dursala adalah putra Raden Dursasana, tergolong keluarga Kurawa di Kerajaan Astina. Ibunya bernama Dewi Saltani. Raden Dursala sifat-sifatnya seperti ayahnya R. Dursasana buta akan sopan-santun. Sering bertindak sewenang-wenang terhadap yang lemah, selalu menangnya sendiri. Walaupun pada dirinya melekat sifat-sifat yang buruk tetapi tekun menuntut berbagai ilmu kesaktian dari Begawan Druna dan Resi Pisyaka, seorang pendeta berujud raksasa, yang memberikan aji Gineng.

Dalam suatu peperangan dikisahkan bahwa Raden Dursala dan Raden Gathutkaca sama kuat bertanding. Lama bertarung beberapa kali Dursala menggunakan Aji Candra Wirayang ternyata Gathutkaca tidak mati tetap tegar. Hilang kesabaran Gathutkaca Raden Dursala bisa diringkus dan dihantam denagan Aji Narantaka tubuh Dursala hancur berkeping-keping. Akhirnya kemenangan di raih Raden Gathutkaca. Peperangan ini melambangkan bahwa sifat-sifat kebaikan akan menang melawan sifat-sifat keburukan.(DK)

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-08-15 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di MI NU Margokaton, Seyegan pada Kamis, 15 Agustus 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah MI NU Margokaton, Korwil, dan dihadiri oleh Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang. 

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Bimo Bothok yang disajikan oleh Dalang Rifki Adi Nugraha. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Bimo Bothok adalah lakon wayang yang mengisahkan Ketika Pandawa mengembara di hutan Kamiyaka singgah di kademangan Manahilan rumah Demang Wijrapa. Tetapi Dewi Kunti ibu Pandawa merasa iba melihat kademangan berkabung dan rakyat kecil merasa ketakiutan, maka Dewi Kunti mendekati Ki Demang Wijrapa dan Nyai Wijrapa, mengapa suasana kademangan sedih dan Nyai Wijrapa menangis tersedu-sedu, karena desakaan Dewi Kunti dan Bima, Demang Wijrapa menjawab bahwa besok pagi-pagi benar harus mengorbankan salah satu orang untuk santapan Prabu Baka raja Ekacakra yang kebetulan Manahilan juga wilayah kerajaan Ekacakra. Mendengar ratapan demang Wijrapa merasa iba, Bima belum sampai ditanya Dewi Kunti Bima sanggup menjadi santapan raja Raksasa Prabu Baka. Tetapi Wijrapa mengkhawatirkan keselamatannya, Kunti supaya Wijrapa sekeluarga tidak usah mengkhawatirkan, dan titah dari Prabu Baka raja Rakssa dilaksankannya, semua saran dari Kunti ditaatinya. Sesampai di kerajaan, Bima diboreh dengan bumbu Bothok layaknya daging dimasak. Prabu Baka menerima Wijrapa dengan membawa satu gerobag hidangan disajikannya. Dasar raja raksasa melihat anak muda tinggi besar sudah tidak sabar Bima yang diam ketika akan ditubruk mulut Baka ditendang Bima dan terjadi perang dahsyat. Tetapi Baka raja yang serakah bisa dimusnahkan. Ketka raja Baka tewas kawula kecil merasa aman tentram. Keluarga Wijrapa merasa senang dan mengucapkan terima kasih. Yang mengejutkan lagi Kunti Bima mengaku istri raja Pandu dan Bima sekeluarga putra Pandu raja Astina, Demang Wijrapa mengucapkan terima kasih yang begitu dalam karena rakyat Ekacakra tidak merasa terancam bahaya lagi dan semua rakyat merasa tentram, Pepatah mengatakan diatas langit masih ada langit.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-08-24 12:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SMP Negeri 4 Prambanan, Prambanan pada Sabtu, 24 Agustus 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Bidang Warisan Budaya  (Esti Listyowati, S.E, M.M.) Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, dihadiri oleh Kepala Seksi Warisan Budaya Tak Benda (Dekhi Nugroho, S.E., M.Ec.Dev.) Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, Kepala Sekolah SMP N 4 Prambanan (Purwanti, S,Pd., M.Pd.) dan Tamu Undangan.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Sinta Suci yang disajikan oleh Dalang Muhammad Zaki Kadiatama. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Sinta Suci merupakan sebuah lakon wayang yang mengisahkan pertempuran antara Rahwana dan Rama. Sinta datang memintakan maaf sang Prabu Dasamuka, Sang Suami mempertanyakan kesuciannya kepada Sang Istri. Untuk membuktikan kesuciannya dan menjawab kecurigaan sang suami, Sinta memuja api. Dan setelah Sinta dibakar, ternyata Sinta masih selamat dan terbukti Sinta masih menjaga kesuciannya, Prabu Rama tidak percaya karena api adalah hasil pujaan Dewi Sinta sendiri, Sinta pun bersumpah jika ia pernah berselingkuh maka bumi tidak akan sudi menerimanya. Tiba-tiba bumi pun terbelah. Sinta masuk ke dalam tanah. Menyaksikan hal itu Rama sangat sedih.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-09-11 12:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SMP Pangudi Luhur Moyudan, Moyudan pada Rabu, 11 September 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SMP Pangudi Luhur Moyudan (Sri Rahayu, S.Pd) dan dihadiri oleh Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang. 

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Aji Narantaka yang disajikan oleh Dalang Rafael Aron Javera. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Aji Narantakan merupakan sebuah lakon wayang yang mengisahkan Gatutkaca adalah ksatria atau raja muda Pringgadani. Gatutkaca kalah dalam perang tanding melawan Dursala yang memiliki Aji Gineng. Aji Gineng memiliki kesaktian dengan hiperbol dihantamkan gunung jugrug, segara asat. Walaupun struktur tubuh Gatutkaca terdiri  otot kawat balung wesi, kulit tembaga, namun tidak mampu menahan kedahsyatan Agi Gineng Dursala. Walaupun tidak sampai mati, Gatutkaca benar-benar tidak berdaya menghadapi Aji Gineng Dursala. Dalam keadaan luka parah Gatutkaca berguru ke Resi Seta untuk mendapatkan ajaran kesaktian Aji Narantaka. Dursala. Jika Gatutkaca sebagai lambang kebajikan. Dursala lambang kejahatan. Dur berarti jahat, sala berarti perilaku. Dursala dipercaya oleh Prabu Duryudana untuk mengalahkan Gatutkaca. Dengan Aji Ginengnya Dursala sangat percaya diri untuk mengalahkan Gatutkaca. Keyakinan  diri Dursala terhadap ilmu yang dimiliki dapat ditiru, kesaktian ilmunya, namun jangan over convidence, dan jangan salah jalan. Ilmunya (Aji Gineng) dapat ditiru dan dicari, tetapi jangan contoh perilaku Dursala.Dengan Aji Narantaka, Gatutkaca dapat menghancurkan kesombongan Dursala.  Benturan keras Aji Gineng dan Aji Narantara, menjadikan Dursala tewas seketika ‘lebur tanpa dadi’. Setelah mengalahkan Dursala, tampaknya Gatutkaca pun over convidence pula, sesumbar dengan kehebatan Aji Narantakanya. Pria dipastikan hancur di tangannya. Bila ada wanita yang dapat menahan Aji Narantakanya akan diperistri. Ternyata Aji Narantaka kandas pada seorang wanita bernama Dewi Sampani. Karena Dewi Sampani mampu menahan Aji Narantaka, Dewi Sampani diperistri Gatutkaca dan kelak memiliki putra Jaya Sumpena. Sejarah juga membuktikan keperkasaan seorang pria akan jatuh saat di pelukan wanita.

Nilai yang terkandung dalam lakon Aji Narantaka yaitu ilmu harus diperbaharui (dikaji, teliti, dan terus dikembangkan) sesuai dengan perkembangan zaman (up to date), mencari ilmu perlu kesungguhan, tak kenal lelah, demi masa depan yang cerah, percaya diri sangat diperlukan dalam menyelesaikan masalah (problem based learning), tetapi terlalu PD over convidence justru menghancurkan diri sendiri, jangan meremehkan wanita, banyak bukti pria sakti  pria takluk juga di pelukan wanita. 

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-09-19 12:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SMP Maarif Gamping, Gamping pada Kamis, 19 September 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SMP Ma’arif Gamping (Retna Isti Pratiwi, S.S, M.Pd.) dan dihadiri oleh Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Banyu Suci Perwitasari yang disajikan oleh Dalang Sang Batara Arka. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon ini mengisahkan tentang Bratasena meraih kesempurnaan ilmu, namun oleh Begawan Durna diminta untuk mencari air kehidaupan “Tirta Pawitra Mahaning Suci” dengan syarat harus memasuki Segara Minang Kalbu, Durna pun menjelaskan jika Segara Minang Kalbu berada di tengah-tengahnya samudra yang terbentang luas, di dalam samodra badannya terombang-ambing, terhempas serta diterjang ganasnya gelombang laut lepas, ibarat kapas dipermainkan tiupan angin kencang. Bima pasrah akan nasib dirinya karena kebulatan tekadnya tak menggoyahkan semangatnya. Betapa kagetnya ketika tiba-tiba di hadapannya, muncul seekor naga besar menghadang. Naga itu berjuluk Kyai Namburnawa, yang langsung menyerang Bima. Naga itu menggigit pahanya. Kemudian ekornya terhempas serta merta membelit tubuhnya. Bima menggeliat, menggelepar, menahan diri dengan sekuat tenaganya untuk melawannya. Bergulat dengan Kyai Namburnawa, spontan badan Werkudara mengikuti gerakan-gerakan Naga itu, agar tidak luluh serta hancur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan sang naga. Saat itu Bima lepas dari himpitan, kemudian melesat menuju leher sang naga, secepat kilat tangannya meraih kepala naga, dengan Kuku Pancanaka. Raung kesakitan yang memekakkan telinga mengiringi jatuhnya sang naga. Bratasena tampak begitu lelah, jiwanya seakan melayang, bak kehilangan kesadarannya. Cukup lama jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu ujung rimbanya. Pada saat tersadar, dan membuka matanya pelan-pelan, kakinya seakan menginjak tanah. Perlahan pandangannya semakin jelas seakan dirinya berdiri pada pulau kecil di tengah lautan luas. Bima terbuai oleh ketakjuban, dan tiba-tiba semakin dikejutkan dengan munculnya Bocah Bajang yang bersamaan oleh cahaya yang menyilaukan matanya. Cahaya di atas Cahaya. Bocah Bajang itu sungguh kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan perawakan Bima. Bocah Bajang berjalan perlahan menghampirinya. Ilmu kesempurnaan hidup ini akan diperoleh bila telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung lagi kepada keinginan-keinginan duniawi lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia masih menggunakan daya panasnya matahari, daya semilirnya angin, segarnya air dan masih menginjak bumi di bawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna karena yang sempurna itu hanyalah Sang Pencipta.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-09-24 12:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Sukosari, Ngaglik pada Selasa, 24 September 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SD Negeri Sukosari (Anisa Saraswati, S.Pd, Gr) dan dihadiri oleh Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang. 

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Gatotkaca Winisudha yang disajikan oleh Dalang Aldi Rizqi Abdiel Muhammad. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Gatotkaca Winisudha adalah lakon wayang yang mengisahkan Adipati Brajadenta dan Raden Kalabendana untuk memenuhi undangan wisudan Raden Gathotkaca anak keponakannya tetapi hati Brajadenta tidak bisa menerima, karena Gathotkaca musuh besar kadang Braja, yang pantas pewaris kerajaan adalah Brajadenta, dia mengumpat adiknya Kalabendana. Pada saat itu juga Kalabendana marah dan terjadi pertempuran di alun-alun Glagahtinulu, lama berperang Kalabendana merasa sebagai utusan kakaknya Arimbi segera meninggalkan kakaknya Adipati Brajadenta Adipati Brajadenda mengakui kepada kakaknya Arimbi bahwa, ialah pewaris kerajaan maka terjadi perang sengit, saat itu juga Gathotkaca mengetahui ibunya melawan pamannya gathutkaca langsung melawan pamannya Brajadenta, tetapi Gathutkaca bisa diringkus ketika Brajadenta mengangkat Candrasa akan ditusukkan tubuh Gathutkaca dari belakang diserbu Brajamusti, kedua raksasa itu sama-sama kuat, menggunakan aji Petak jagad keduanya gugur sampyuh dan kedua tubuh raksasa itu mengecil hilang masuk menyatu dengan tubuh Gathutkaca menjadi aji Brajamusti dan Brajadenta. Akhirnya Raden Gathotkaca dinobatkan di Kerajaan Pringgodani.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-06-14 12:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Sleman 4, Sleman pada Jumat, 14 Juni 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SD Negeri Sleman 4 (Asih Ambarwati, M.Pd), dihadiri oleh Kepala Seksi Warisan Budaya Tak Benda (Dekhi Nugroho, S.E., M.Ec.Dev.) Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, dan Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang. 

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Babat Alas Mertani yang disajikan oleh Dalang Dhiki Bisma Putra. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Babat Alas Mertani merupakan lakon wayang yang menceritakan ketika Pandawa mengusik Negara Astina, tergugah untuk meminta anah leluhurnya Tetapi akal busuk Sangkuni timbul bebagai cara supaya Astina tetap ditangan Duryudana Pandawa diperbolehkan menduduki Astina asal bisa membuka hutan Wanamarta (Mrentani). Konon hutan Wanamarta yang begitu angker berwajah hutan lebat dengan ranting yang mejulur dan akarnya yang mencekam dan penuh dengan jin raksasa ingin memakan datangnya manusia. Pandawa yang penurut bertanggung jawab tak gentar menghadapi segala rintangan sekalipun dibuat penderitaan, Pandawa tidak pernah sakit hati apalagi pendendam. Karena kejadian dan kondisi kodrad alam jagad seiisinya yang menghendaki adalah Tuhan. Ketika Pandawa masuk hutan sudah dihadang berbagai rintangan seperti Bima dikeroyok jin dipimpin jin Kunjara Parno dan jin Sapu Jagad yang tidak kasat mata Arjuna ditikam sekalian dililit jin Ular Besar yang bernama Wilwuk ( Wilawuk ) juga tidak diketahui ujudnya tetapi pertarungan itu diketahui putri Wilwuk yang cantik jelita bernama Jimambang. Putri tersebut minta ayahnya Jin Wilwuk menghetikan pertarungannya. Dia sangat mencintai dengan Permadi anak Pandu, Wilawuk merasa iba dengan putrinya Permadi mau dinikahkan dengan Jimambang..asalkan Wilawuk membantu babat alas Wanamarta, demi putrinya Wilwuk sanggub membantunya bahkan memberikan minyak Jayeng katon (kuda pranawa) Kayu ,Tempuru serta jungkat piñatas. Mata Arjuna setelah diberi minyak jayeng katon terkejut karena keindahan hutan Wanamarta bukanlah hutan angker melainkan kerajaan yang sangatlah subur nyaman dan Indahnya panorama. Arjuna dengan Bima membantu saudara-saudaranya menyerang jim Kunjara Parno dan Sapu Jagad pemimpin jim tersebut terkalahkan lari lapor Raja Yudistira, dan saudara-saudaranya yang bernama Jim Dandun Wacana, Jin Danangjaya dan Jin Nakula-Sadewa, akhirnya pertempuran bisa diraih oleh Pandawa. Hadiah Yudistira kepada Pandawa yaitu : Pusaka Jamus Kalimasada, Payung Tunggul Naga, Gada Recabala dan Tumbak karawelang. 

Semua pusaka tersebut diserahkan putra sulung Pandu yaitu Puntadewa serta dianugerahi negeri jin Negara Mrentani yang terdiri dari beberapa Kadipaten yaitu Jodipati, Madukara, Saojajar dan Gambiratalun, kelima saudara jin menyatu dengan raja Yudistira dan adik-adiknya. Keberhasilan Pandawa atas karunia Tuhan dengan perantaraan Kurawa selalu bersyukur, walaupun direkayasa diharapkan mati, Pandawa merasakan tidak dianiaya, bahkan sebaliknya dan berterima kasih pada Kurawa saudara tuanya.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-05-27 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Pogung Kidul, Mlati pada Senin, 27 Mei 2024. Kegiatan wayang siswa dihadiri oleh Kepala Sekolah SD Negeri Pogung Kidul (Kristina Ernawati, S.Pd., M.Pd.), Kepala Bidang Warisan Budaya (Esti Listyowati, S.E., M.M.) Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, beserta Tamu Undangan. 

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Dasamuka Gladhag yang disajikan oleh Dalang Dhamar Asmara Sejati. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Dasamuka Gladhag merupakan lakon wayang yang mengisahkan Prabu Dasamuka yang mendabakan Dewi Citrawati yang dipersunting Prabu Harjuna Sasra raja Mahespati. Ingin merebutnya ketika mengetahui Negara Alengka kebanjiran laut karena olah Prabu Harjuna Sasra. Dasamuka dengan dalih Alengka kebanjiran dan ingin merebut Dewi Citrawati Dasamuka membawa prajurit menyerbu Mahespalti.

Badai mengamuk suara gemuruh sama suara besi berbenturan dan suara dahsyat menggelegar dan meringkiknya kuda, sumempret suara Gajah, mengaumnya singa dan harimau, bersamaan menggeramnya raksasa banyak raja-raja kecil yang sekutu dengan Mahespati banyak yang gugur dan yang masih hidup yang merintih kesakitan. Itulah suara di medan perang alun-alun Mahespati. Peperangan yang tak kunjung.reda atas amukan Prabu Dasamuka dengan pusaka saktinya pedang Mentawa dengan sekali ayunan pedanga berpuluh-puluh kepala kesatria berjatuhan tewas tak tertolong. 

Prabu. Harjuna Sasra yang sedang berenang-senang dengan putri Domas ketika mendapat laporan dari patih Suroto bahwa raja-raja sekutu banyak yang tewas maka Prabu Sasrabahu marah dan sekika itu berubah ujud Raksasa besar dan meninggalkan putri domas, segera bertemu dengan Prabu Rahwana di alun-alun Mahespati. Terjadilah pertempuran sengit antara Prabu Dasamuka dengan Prabu Harjunasasra. Dengan tidak makan waktu Dasamuka dihajar habis-habisan tangan dan kaki Dasamuka diikat pada kereta Prabu Sasra digladag dan memutar kerajaan Mahespati dengan suara meraung-raung Dasamuka minta dilepas, justru dengan suara keras keretanya semakin dipercepat kencang akhirya Dasamuka mengalami kekalahan.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi.

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi.
Admin 2024-03-06 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Mejing 2, Gamping pada Rabu, 6 Maret 2024. Kegiatan wayang siswa dihadiri oleh Dekhi Nugroho, SE, M.Ec.Dev selaku Kepala Bidang Warisan Budaya DInas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman beserta seluruh staf Bidang Warisan Budaya. 

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Rama Tundhung yang disajikan oleh Dalang Dhamar Asmara Sejati. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang RamaTundhung merupakan lakon wayang yang mengisahkan Ramawijaya yang seharusnya diangkat menjadi raja untuk menggantikan Dasarata. Akan tetapi Dewi Kekayi menuntut agar anaknya yang bernama Branta yang menggantikan sebagai Raja. Agar berhasil Dasarata dimohon untuk menundung Ramawijaya. Dan Ramawijaya pun berhasil ditundung. Ramawijaya pergi meninggalkan Ayodya bersama Dewi Shinta istrinya juga Lesmana. Ia pergi masuk ke tengah hutan Dandaka. Dan Dasamuka mendapat berita dari Dewi Sarpakenaka. Ia mengabarkan jika Ramawijaya beserta istri serta Laksmana berada di dalam hutan Dandaka. Mendengar kabar dan mengerti tempatnya, Dasamuka segera pergi menyeberang lautan lepas untuk segera mencari Kala Marica yang berada di Goa Karang. Dan sesampainya disana Dasamuka berujar, “Kala Marica, saya hendak memboyong Dewi Shinta yang sedang berada di tengah hutan Dandaka.’ “Oh, ya Sang Prabu, sareh dan sabar,” sahut Kala Marica. “Sareh, sabar, bagaimana, Marica?” Kala Marica pun segera menjelaskan, agar menculik Dewi Shinta berhasil tanpa ada halangan yang merintangi, Kala Marica berharap harus diciptakan iguh serta pertikel yang menguntungkan. “Hua, ha ha ha…,” Dasamuka tertawa terbahak-bahak. “Benar! Tidak salah aku mendatangimu!” Dasamuka merasa ada manfaatnya mendatangi Kala Marica. “Lalu kehendakmu, bagaimana Kala Marica?” “Saya akan merubah wujud diri saya menjadi seekor Kijang yang cantik. Nanti akan menggoda Dewi Shinta. Tentu Dewi Shinta minta kepada Ramawijaya untuk menangkapnya,” jelas Kala Marica yang sangat disetujui oleh Dasamuka. Setelah Ramawijaya pergi, ternyata Branta anak Dewi Kekayi menolak untuk naik tahta dan minta agar Ramawijaya tetap berada di Ayodya, tetapi Ramawijaya telah pergi dari Ayodya bersama istrinya menjalani masa pembuangan di Hutan Dandaka. 

Di Hutan Dandaka Ramawijaya dihadang Karadusana utusan Sarpakenaka, adik Dasamuka dan terjadi peperangan. Karadusana kalah. Setelah itu Ramawijaya melanjutkan ke Gunung Argasoka. Di hutan tersebut terlihatlah seekor kijang kecil. Begitu melihat Kijang, Dewi Shinta sangat tertarik, ia mohon ke Ramawijaya agar dapat menangkap Kijang untuknya. Namun Kijang tahu, ia pun berusaha agar Ramawijaya mengejar. “Uh! Jangan mempermainkan aku, Kijang,” tukas Ramawijaya terus berusaha mengejarnya dan agar tidak kehilangan jejak. Gerak Kijang tampak lincah, dan selalu menggoda Ramawijaya, kadang berlari kencang menjauh, namun tiba-tiba sudah berada dihadapannya, “Kamu jangan mempermainkan aku Kijang,” ungkap Ramawijaya. Setelah beberapa saat, dan Ramawijaya tak tampak, Shinta mohon pada Lesmana agar membantu menangkap Kijang. Lesmana pun menyanggupi. Karena di tengah hutan, Lesmana merajah tanah dengan pusaka kerisnya, untuk keselamatan dari segala hal. Ia berjalan melingkar mengelilingi Shinta, menggores tanah. Sekarang tampak lingkaran mengelilingi Shinta. “Jangan keluar dari lingkaran ini,” pinta Lesmana yang disanggupi Shinta. Lesmana segera mencari Ramawijaya yang sudah jauh. Dan karena ingin sekali menangkap Kijang, mereka berdua terus mengikuti Kijang, sampai lupa waktu. Juga melupakan Shinta yang ditinggal sendirian. Dasamuka segera datang menghampiri Shinta, namun malang ketika ia hendak langsung menyeret dan membawa Shinta, namun keampuhan rajah yang dibuat Lesmana, Dasamuka pun jatuh terjerembab. Dasamuka menyingkir sejenak untuk mencari akal. Sejenak kemudian Dasamuka menemukan akal, ia pura-pura menjadi seorang kakek-kakek yang kelaparan. Seorang Kakek itu menjatuhkan diri di depan Shinta dan diluar lingkaran rajah. “Tolonglah aku, aku haus, aku haus.,” ucap Kakek itu serak dan pelan. Shinta melihatnya dan merasa iba. “Kakek,” tukasnya halus, tapi tak segera menolongnya. “Tolonglah aku, aku tak kuat lagi, tolonglah aku carikan air,” lanjut sang Kakek. Shinta memandang tajam Kakek yang berada di hadapannya.” Hem aku harus menolongnya,” pikir Shinta kasihan. Dan tanpa basa basi Shinta pun datang menghampiri hendak meminta tempurung tempat air yang dibawa Kakek. Ia lupa jika Kakek robohnya diluar lingkaran rajah. Dan…, sampai di hadapan Kakek tadi begitu Shinta hendak meminta tempurung, lebih dulu tangan Shinta ditarik Kakek-kakek tadi, “Hua ha, ha, ha…!” Kakek tadi berubah wujud menjadi wajah aslinya, Dasamuka, yang langsung membawa Shinta terbang ke angkasa. 

Rama dan Lesmana tidak tahu kejadiannya, mereka terus mengejar, “Lesmana, sebaiknya aku panah saja,” tukas Ramawijaya sambil menghunus anak panah dan memegang gendewa. Panahpun dipasang dan, “Slap!” meluncur busur mengenai Kijang. Kijang terkena panah, berubah wujud menjadi Kala Marica yang di dadanya sudah tertancap panah Ramawijaya. “Huaha…, ha, ha…. Ramawijaya kamu lihat diatas, Shinta istrimu!” Tunjuk Kala Marica, dan kemudian jatuh mati terjerembab ke tanah. “Waduh Lesmana, kita telah terperdaya,” ucap Ramawijaya. “Kita kejar!” Pinta Lesmana.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-07-16 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Krapyak 2, Ngemplak pada Selasa, 16 Juli 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SD Negeri Krapyak 2 (Mukhammad Maimun Ridlo, S.Pd.SD), dihadiri oleh Kepala Bidang Warisan Budaya (Esti Listyowati, S.E., M.M.) Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, Kepala Seksi Warisan Budaya Tak Benda (Dekhi Nugroho, S.E., M.Ec.Dev.) Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, dan Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Sumantri Ngenger yang disajikan oleh Dalang Alexius Apriliano Beny Anggoro. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Sumantri Ngenger merupakan lakon wayang yang mengisahkan tentang urip sebaya mukti sebaya pati adalah prinsip Bambang Sukroseno terhadap saudara tuanya Bambang Sumantri. Dengan berbagai cara, Sukroseno mencari perhatian kepada Bambang Sumantri. Tetapi Sumantri rela meyakiti hati saudaranya karena lebih setia terhadap Rajanya yang telah memberi derajat dan pangkat. Disini kita dapat mengambil hikmahnya, jangan pandang seseorang dari fisik tapi lihatlah dari hati ke hati. Persaudaraan Sumantri Sukroseno hancur karena kesetiaan pada harta dan tahta yang menimbulkan penyesalan tiada henti.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-08-13 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Koroulon 1, Ngemplak pada Selasa, 13 Agustus 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SD Negeri Koroulon 1 (Anggit Bagus Nugroho, S.Pd), Korwil, dan dihadiri oleh Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Jabang Tetuka yang disajikan oleh Dalang Panggah Noto Wibatsu. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Jabang Tetuka merupakan lakon wayang yang menceritakan lahirnya Gatotkaca ksatria yang waktu lahir membuat heboh, terutama yang didalam keluarga Pandawa, Karena tali ari-ari bayi yang diberi nama Jabang Tetuka itu tidak bisa dipotong. Bima sebagai ayahnya, Dewi Arimbi sebagai ibunya, tentu menjadi cemas dan bingung. Karena di Pandawa Raden Arjuna paling banyak memiliki senjata pusaka yang sakti, maka Raden Arjuna diminta untuk memotong tali ari-ari keponakannya. Satu demi satu senjata sakti Raden Arjuna dipakai untuk memotong tali ari-ari. Namun tidak mempan. Akhirnya senjata andalannya Panah Pasopati juga dipakai. Tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Bahkan pusaka Kuku Pancanaka milik Bima pun gagal. Menurut Semar, tali ari-ari Jabang Tetuka hanya bisa dipotong dengan senjata kadewatan. Senjata milik para dewa. 

Setelah melewati proses panjang, tali ari-ari bisa dipotong. Bahkan ia sudah diminta para dewa untuk perang melawan raja raksasa Kalapracona. Supaya ia cepat besar dan kuat, lalu dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka. Digodok, dibakar, dijadikan satu dengan senjata para dewa. Setelah menjadi manusia berotot kawat bertulang besi, Jabang Tetuka berhasil mengalahkan Kala Pracona dan patihnya Kala Sakipu.

Gatotkata menjadi raja di Pringgodani. Kerajaan itu warisan dari ibunya. Karena Dewi Arimbi adalah putri raja Pringgodani bernama Prabu Tremboko atau Arimbaka. Sebagai cucu Prabu Tremboko, maka Gatotkaca juga bisa terbang. Sebagai ksatria, pembawaannya tenang. Namun ia sangat mencintai keluarga besar Pandawa.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-07-17 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Kebonagung, Minggir pada Rabu, 17 Juli 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SD Negeri Kebonagung (Karyati, S.Pd.SD., M.Pd.), dihadiri oleh Kepala Seksi Warisan Budaya Tak Benda (Dekhi Nugroho, S.E., M.Ec.Dev.) Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, dan Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Dewa Ruci yang disajikan oleh Dalang Bagus Pranantya. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Dewa Ruci merupakan lakon wayang yang menceritakan Bima (Bratasena) kesatria keluarga Pandawa terhitung nomor 2(dua) dari ke 5 (lima) bersaudara tubuh besar tangguh dan pemberani, dalam lubuk hati ingin mencari ‘’Kesempurnaan hidup’’ yang di sebut Banyu Suci Perwitasari. Dengan tekat bulat menanyakan kepada Guru Durna, Pandita Durna sanggup memberikannya asalkan bisa mencari ”Kayu Gong Susuing Angin’’ yang ada di Gunung Candramuka. 

Bima segera menuju gunung tersebut, di tengah hutan lereng gunung Candramuka bertemu  2 (dua ) Raksasa yang bernama Ditya Rukmuka dan Ditya  Rukmakala. Kedua Raksasa tersebut geram dan menyerangnya karena hutan sebagai penghuninya dirusak oleh Bima  sehingga terjadi perlawanan sengit antara Bima dengan kedua raksasa tersebut. Tak lama kemudian kedua raksasa bisa ditewaskan dan berubah ujud semula yaitu Batara Indra dan Batara Bayu. Bima dinasehati bahwa ‘’ Kayu Gong Susuing Angin’’ adalah simbul atau kehendak manusia atau cita-cita luhur. Bahwa Banyu Suci Perwitasari adalah didasar Samudera Minangkalbu. Mendengar petunjuk dari kedua Dewa Bima langsung menuju Samodera Minangkalbu. 

Hati Bima(Bratasena) termangu ketika memandang samodera yang begitu luas tanpa batas, tetapi dengan kepercayaan yang kuat dan tak menghiraukan  rintangan yang terjadi, maka Bima menceburkan ke dalam samodera. Perjalanan Bima ditengah samodera terseet arus ombak dengan terkejut ketika mengetahui tubuhnya dililit ular sebesar pohon Tal yang bernama Amburnawa. Bima sudah tak berdaya tetapi dengan sisa-sisa kekuatan tenaga  tangan Bima mencekik leher Amburnawa dengan kuku Pancanaka ditusukan ke mulut nya, maka tewaslah  naga tersebut. Seketika itu  Bima kehabisan tenaga dan tak sadarkan diri.  Saat itu juga terkejut mendadak dihadapanya ada manusia kerdil yang bernama dewa Ruci. Dewa Ruci tahu maksud tujuan dari Bima,  akhirnya diberikan ‘’Banyu Suci Perwitasari’’ dan dijabarkannya manusia menuju ‘’Kesempurnaan Hidup’’

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-06-12 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Kaweden, Mlati pada Rabu, 12 Juni 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SD Negeri Kaweden (Wiwit Murih Widodo, S.Pd), dan dihadiri oleh Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang. 

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Wibisana Tundhung yang disajikan oleh Dalang Ki Prasetya Banar Wicaksana. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Wibisana Tundhung merupakan lakon wayang yang mengisahkan Anoman diutus menjadi duta prabu Rama ke Negara Alengka, saat misi telah berhasil dilaksanakan, bersamaan dengan tertangkapnya anoman oleh prajurit alengka. Seketika Negara Alengka terbakar hebat, dan raden anoman disembunyikan oleh Gunawan Wibisana di SinggelaPura kediaman wibisana. 

Mendengar kabar tersebut prabu Rahwana murka, dan melabrak adiknya Wibisana.Perdebatan sengit terjadi, dan Wibisana diusir (ditundung) pergi dari Alengka.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi.

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi.
Admin 2024-04-18 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Kaliduren, Moyudan pada Kamis, 18 April 2024. Kegiatan wayang siswa dihadiri oleh Dekhi Nugroho, SE, M.Ec.Dev selaku Kepala Bidang Warisan Budaya DInas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman beserta seluruh staf Bidang Warisan Budaya. 

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Jabang Tetuka/Gatotkaca Lahir yang disajikan oleh Dalang Brendi Hendra Briawan. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Jabang Tetuka/Gatotkaca Lahir merupakan lakon wayang yang mengisahkan lahirnya Gatotkaca ksatria yang waktu lahir membuat heboh, terutama yang didalam keluarga Pandawa, Karena tali ari-ari bayi yang diberi nama Jabang Tetuka itu tidak bisa dipotong. Bima sebagai ayahnya, Dewi Arimbi sebagai ibunya, tentu menjadi cemas dan bingung. Karena di Pandawa Raden Arjuna paling banyak memiliki senjata pusaka yang sakti, maka Raden Arjuna diminta untuk memotong tali ari-ari keponakannya. Satu demi satu senjata sakti Raden Arjuna dipakai untuk memotong tali ari-ari. Namun tidak mempan. Akhirnya senjata andalannya Panah Pasopati juga dipakai. Tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Bahkan pusaka Kuku Kancanaka milik Bima pun gagal. Menurut Semar, tali ari-ari Jabang Tetuka hanya bisa dipotong dengan senjata kadewatan. Senjata milik para dewa.

Setelah melewati proses panjang, tali ari-ari bisa dipotong. Bahkan ia sudah diminta para dewa untuk perang melawan raja raksasa Kalapracona. Supaya ia cepat besar dan kuat, lalu dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka. Digodok, dibakar, dijadikan satu dengan senjata para dewa. Setelah menjadi manusia berotot kawat bertulang besi, Jabang Tetuka berhasil mengalahkan Kala Pracona dan patihnya Kala Sakipu.

Gatotkata menjadi raja di Pringgodani. Kerajaan itu warisan dari ibunya. Karena Dewi Arimbi adalah putri raja Pringgodani bernama Prabu Tremboko atau Arimbaka. Sebagai cucu Prabu Tremboko, maka Gatotkaca juga bisa terbang. Sebagai ksatria, pembawaannya tenang. Namun ia sangat mencintai keluarga besar Pandawa.

 

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-09-25 12:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Jagamangsan 1, Berbah pada Rabu, 25 September 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SD Negeri Jagamangsan 1 (Agus Triyanto, S.Pd. SD) dan dihadiri oleh Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Palguna Palgunadi yang disajikan oleh Dalang Candya Pradipta. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti.Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Palguna Palgunadi merupakan sebuah lakon wayang yang mengisahkan tentang Bambang Ekalaya dari Nisada yang sangat ingin berguru kepada Begawan Durna untuk menjadi pemanah terhebat. Ekalaya pun jauh-jauh menuju Sukolima untuk bertemu dengan Begawan Durna. Apakah keinginan Ekalaya akan terwujud? atau sebaliknya? Semua akan terbabarkan di Palguna Palgunadi.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-06-13 12:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Dukuh 1, Sleman pada Kamis, 13 Juni 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SD Negeri Dukuh 1 (Himawan Marutiarti, S.Pd, SD), dihadiri oleh Kepala Bidang Warisan Budaya (Esti Listyowati, S.E., M.M.) Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, Kepala Seksi Warisan Budaya Tak Benda (Dekhi Nugroho, S.E., M.Ec.Dev.) Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, dan Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Jabang Tetuka yang disajikan oleh Dalang Brendy Narendra Briawan. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Jabang Tetuka/Gatotkaca Lahir merupakan lakon wayang yang mengisahkan lahirnya Gatotkaca ksatria yang waktu lahir membuat heboh, terutama yang didalam keluarga Pandawa, Karena tali ari-ari bayi yang diberi nama Jabang Tetuka itu tidak bisa dipotong. Bima sebagai ayahnya, Dewi Arimbi sebagai ibunya, tentu menjadi cemas dan bingung. Karena di Pandawa Raden Arjuna paling banyak memiliki senjata pusaka yang sakti, maka Raden Arjuna diminta untuk memotong tali ari-ari keponakannya. Satu demi satu senjata sakti Raden Arjuna dipakai untuk memotong tali ari-ari. Namun tidak mempan. Akhirnya senjata andalannya Panah Pasopati juga dipakai. Tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Bahkan pusaka Kuku Pancanaka milik Bima pun gagal. Menurut Semar, tali ari-ari Jabang Tetuka hanya bisa dipotong dengan senjata kadewatan. Senjata milik para dewa. 

Setelah melewati proses panjang, tali ari-ari bisa dipotong. Bahkan ia sudah diminta para dewa untuk perang melawan raja raksasa Kalapracona. Supaya ia cepat besar dan kuat, lalu dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka. Digodok, dibakar, dijadikan satu dengan senjata para dewa. Setelah menjadi manusia berotot kawat bertulang besi, Jabang Tetuka berhasil mengalahkan Kala Pracona dan patihnya Kala Sakipu.

Gatotkata menjadi raja di Pringgodani. Kerajaan itu warisan dari ibunya. Karena Dewi Arimbi adalah putri raja Pringgodani bernama Prabu Tremboko atau Arimbaka. Sebagai cucu Prabu Tremboko, maka Gatotkaca juga bisa terbang. Sebagai ksatria, pembawaannya tenang. Namun ia sangat mencintai keluarga besar Pandawa.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi.

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi.
Admin 2024-02-19 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Caturtunggal 1, Depok pada Senin, 19 Februari 2024. Kegiatan wayang siswa dihadiri oleh Dekhi Nugroho, SE, M.Ec.Dev selaku Kepala Bidang Warisan Budaya DInas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman beserta seluruh staf Bidang Warisan Budaya. 

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Jabang Tetuka/Gatotkaca Lahir yang disajikan oleh Dalang Maheswatama Dewa. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Jabang Tetuka/Gatotkaca Lahir merupakan lakon wayang yang mengisahkan lahirnya Gatotkaca ksatria yang waktu lahir membuat heboh, terutama yang didalam keluarga Pandawa, Karena tali ari-ari bayi yang diberi nama Jabang Tetuka itu tidak bisa dipotong. Bima sebagai ayahnya, Dewi Arimbi sebagai ibunya, tentu menjadi cemas dan bingung. Karena di Pandawa Raden Arjuna paling banyak memiliki senjata pusaka yang sakti, maka Raden Arjuna diminta untuk memotong tali ari-ari keponakannya. Satu demi satu senjata sakti Raden Arjuna dipakai untuk memotong tali ari-ari. Namun tidak mempan. Akhirnya senjata andalannya Panah Pasopati juga dipakai. Tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Bahkan pusaka Kuku Kancanaka milik Bima pun gagal. Menurut Semar, tali ari-ari Jabang Tetuka hanya bisa dipotong dengan senjata kadewatan. Senjata milik para dewa.

Setelah melewati proses panjang, tali ari-ari bisa dipotong. Bahkan ia sudah diminta para dewa untuk perang melawan raja raksasa Kalapracona. Supaya ia cepat besar dan kuat, lalu dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka. Digodok, dibakar, dijadikan satu dengan senjata para dewa. Setelah menjadi manusia berotot kawat bertulang besi, Jabang Tetuka berhasil mengalahkan Kala Pracona dan patihnya Kala Sakipu.

Gatotkata menjadi raja di Pringgodani. Kerajaan itu warisan dari ibunya. Karena Dewi Arimbi adalah putri raja Pringgodani bernama Prabu Tremboko atau Arimbaka. Sebagai cucu Prabu Tremboko, maka Gatotkaca juga bisa terbang. Sebagai ksatria, pembawaannya tenang. Namun ia sangat mencintai keluarga besar Pandawa.

 

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-06-18 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Brengosan 1, Ngaglik pada Kamis, 18 Juli 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SD Negeri Brengosan 1 (Erni Susilawati, S,Pd.SD.), dihadiri oleh Kepala Seksi Warisan Budaya Tak Benda (Dekhi Nugroho, S.E., M.Ec.Dev.) Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Sleman, dan Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Gatotkaca Winisudha yang disajikan oleh Dalang Muhammad Zaki Kaditama. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Gatotkaca Winisudha merupakan sebuah lakon wayang yang mengisahkan Adipati Brajadenta dan Raden Kalabendana untuk memenuhi undangan wisudan Raden Gathotkaca anak keponakannya tetapi hati Brajadenta tidak bisa menerima, karena Gathotkaca musuh besar kadang Braja, yang pantas pewaris kerajaan adalah Brajadenta, dia mengumpat adiknya Kalabendana. Pada saat itu juga Kalabendana marah dan terjadi pertempuran di alun-alun Glagahtinulu, lama berperang Kalabendana merasa sebagai utusan kakaknya Arimbi segera meninggalkan kakaknya Adipati Brajadenta, Adipati Brajadenda mengakui kepada kakaknya Arimbi bahwa, ialah pewaris kerajaan maka terjadi perang sengit, saat itu juga Gathotkaca mengetahui ibunya melawan pamannya gathutkaca langsung melawan pamannya Brajadenta, tetapi Gathutkaca bisa diringkus ketika Brajadenta mengangkat Candrasa akan ditusukkan tubuh Gathutkaca dari belakang diserbu Brajamusti, kedua raksasa itu sama-sama kuat, menggunakan aji Petak jagad keduanya gugur sampyuh dan kedua tubuh raksasa itu mengecil hilang masuk menyatu dengan tubuh Gathutkaca menjadi aji Brajamusti dan Brajadenta. Akhirnya Raden Gathotkaca dinobatkan di KerajaanPringgodani.

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

  • home //
  • Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi
Admin 2024-08-20 09:00:00

Pagelaran Wayang Kulit Kepada Siswa Sebagai Media Penanaman Nilai dan Pewarisan Budaya Antar Generasi

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa digelar perdana oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Sleman di SD Negeri Adisucipto 1, Depok pada Selasa, 20 Agustus 2024. Kegiatan wayang siswa dibuka oleh sambutan Kepala Sekolah SD Negeri Adisucipto 1 (Suprihatiningsih, S.Pd.), Korwil, dan dihadiri oleh Tamu Undangan. Pelaksanaan kegiatan wayang siswa dimulai saat kepala sekolah memberikan tokoh/lakon wayang kepada Dalang.

Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa ini dibiayai dari Dana Keistimewaan ini mengambil lakon: Babat Alas Mertani yang disajikan oleh Dalang Sang Batara Arka. Maksud dan tujuan kegiatan ini adalah melakukan pembinaan seni dan budaya daerah kepada generasi muda guna memastikan terjadinya regenerasi melalui Pagelaran Apresiasi Budaya Melalui Wayang Kulit kepada Siswa. Secara umum sudah diketahui bahwa sebagai dampak dari perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini, Seni Pertunjukan Wayang secara berlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Seni Pertunjukan Wayang Kulit mengandung berbagai nilai budaya yang positif yang bisa bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak, baik pada usianya sebagai anak-anak maupun kelak setelah menjadi manusia dewasa. Nilai budaya tersebut, yaitu nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk mengasah jiwa manusia agar dapat menjadi manusia yang manusiawi artinya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa, panca indra dan nafsu, serta mengandung ajaran tentang perbuatan baik-buruk serta budi pekerti. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan manusia. Apabila orang sudah bisa menguasai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, niscaya dia akan menjadi orang yang baik, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Lakon Wayang Babat Alas Mertani merupakan lakon wayang yang menceritakan ketika Pandawa mengusik Negara Astina, tergugah untuk meminta anah leluhurnya Tetapi akal busuk Sangkuni timbul bebagai cara supaya Astina tetap ditangan Duryudana Pandawa diperbolehkan menduduki Astina asal bisa membuka hutan Wanamarta (Mrentani). Konon hutan Wanamarta yang begitu angker berwajah hutan lebat dengan ranting yang mejulur dan akarnya yang mencekam dan penuh dengan jin raksasa ingin memakan datangnya manusia. Pandawa yang penurut bertanggung jawab tak gentar menghadapi segala rintangan sekalipun dibuat penderitaan, Pandawa tidak pernah sakit hati apalagi pendendam. Karena kejadian dan kondisi kodrad alam jagad seiisinya yang menghendaki adalah Tuhan. Ketika Pandawa masuk hutan sudah dihadang berbagai rintangan seperti Bima dikeroyok jin dipimpin jin Kunjara Parno dan jin Sapu Jagad yang tidak kasat mata Arjuna ditikam sekalian dililit jin Ular Besar yang bernama Wilwuk ( Wilawuk ) juga tidak diketahui ujudnya tetapi pertarungan itu diketahui putri Wilwuk yang cantik jelita bernama Jimambang. Putri tersebut minta ayahnya Jin Wilwuk menghetikan pertarungannya. Dia sangat mencintai dengan Permadi anak Pandu, Wilawuk merasa iba dengan putrinya Permadi mau dinikahkan dengan Jimambang..asalkan Wilawuk membantu babat alas Wanamarta, demi putrinya Wilwuk sanggub membantunya bahkan memberikan minyak Jayeng katon (kuda pranawa) Kayu ,Tempuru serta jungkat piñatas. Mata Arjuna setelah diberi minyak jayeng katon terkejut karena keindahan hutan Wanamarta bukanlah hutan angker melainkan kerajaan yang sangatlah subur nyaman dan Indahnya panorama. Arjuna dengan Bima membantu saudara-saudaranya menyerang jim Kunjara Parno dan Sapu Jagad pemimpin jim tersebut terkalahkan lari lapor Raja Yudistira, dan saudara-saudaranya yang bernama Jim Dandun Wacana, Jin Danangjaya dan Jin Nakula-Sadewa, akhirnya pertempuran bisa diraih oleh Pandawa. Hadiah Yudistira kepada Pandawa yaitu : Pusaka Jamus Kalimasada, Payung Tunggul Naga, Gada Recabala dan Tumbak karawelang. 

Semua pusaka tersebut diserahkan putra sulung Pandu yaitu Puntadewa serta dianugerahi negeri jin Negara Mrentani yang terdiri dari beberapa Kadipaten yaitu Jodipati, Madukara, Saojajar dan Gambiratalun, kelima saudara jin menyatu dengan raja Yudistira dan adik-adiknya. Keberhasilan Pandawa atas karunia Tuhan dengan perantaraan Kurawa selalu bersyukur, walaupun direkayasa diharapkan mati, Pandawa merasakan tidak dianiaya, bahkan sebaliknya dan berterima kasih pada Kurawa saudara tuanya.