Tata Nilai Kemasyarakatan dalam Tata Nilai Budaya Sleman

  • home //
  • Tata Nilai Kemasyarakatan dalam Tata Nilai Budaya Sleman
Admin 2021-09-14 01:07:43

Tata Nilai Kemasyarakatan dalam Tata Nilai Budaya Sleman

Saat ini Sleman telah memiliki Peraturan Bupati Sleman Nomor 40 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengembangan Tata Nilai Budaya Sleman. Tata Nilai Budaya Sleman merupakan sistem nilai-nilai budaya lokal Sleman yang mengakar, diyakini, dan diturunkan secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat berbudaya.

Salah satu Tata Nilai Budaya sleman adalah Tata Nilai Kemasyarakatan, Tata Nilai Kemasyarakatan  menurut Pasal 5 ayat (1) huruf c Peraturan Bupati Sleman nomor 40 tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengembangan Tata Nilai Budaya Sleman adalah pedoman hidup yang diimplementasikan dalam bermasyarakat sehingga terjadi keharmonisan. Tata Nilai Kemasyarakatan yang terdiri  atas Gotong Royong, Guyub Rukun, Lila Legawa, Tangguh, Tanggon, Tatag, Teteg, dan Tutug, Tembayatan, dan Tepa Salira. Sebagaimana tertuang dalam Lapiran Peraturan Bupati Sleman Nomor 40 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengembangan Tata Nilai Budaya Sleman Nilai Kemasyarakatan terdiri atas:

1. Gotong Royong

Gotong royong lebih bersifat konkrit (budaya tindak). Gotong Royong berarti bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu secara iklas tanpa imbalan demi kebersamaan. Gotong Royong merupaka budaya tindak sebagai realisasi guyub rukun dan tembayatan. Nilai gotong royong dalam masyarakat sleman memiliki karakteristik: a) masyarakat hidupdalam kebersamaan bersama; b) bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas dan kepentingan bersama; c) bekerja bersama-sama secara ikhlas tanpa berharap imbalan; dan d) selain tenaga dukungan dapat berupa makanan.

2. Guyub Rukun

Guyub berarti bekerja sama, rukun berarti damai. Guyub rukun berarti hidup berdampingan dilengkapi dengan kerjasama penuh kedamaian. Guyub rukun merupakan way of life atau budaya pikir. Way of life adalah prinsip hidup bagi orang Jawa bahwa dalam hidup perlu kebersamaan, saling menghormati dan menghargai , saling membantu dan bekerjasama agar tercipta suasana yang harmoni, kebersamaan, kepedulian, dan mencapai tujuan bersama. Masyarakat yang guyub rukun memiliki karakteristik sebagai berikut: a) hidup dalam kebersamaan; b) saling menghormati dan menghargai; c) bersikap peduli; d) cinta damai; e) hidup harmoni; dan f ) senang bekerja sama.

3. Lila Legawa

Lila Legawa identik dengan tanpa pamprih, berati berbuat sesuatu dengan ikhlas, baik dengan ataupun tanpa mengharap imbalan berupa materi, sanjungan, atau pun penghargaan. Kinerja orang yang lila legawa akan juga dihargai secara proporsional dan profesional. Jadi yang penting lila legawa mengandung nilai keikhlasan, baik ada penghargaan maupun tidak. Lila Legawa dengan indikator sebagai berikut: a) bekerja tanpa pamrih (imbalan); b) sungguh-sungguh dalam bertindak, baik sendiri maupun bersama-sama; c) merasa senang dan bahagia apabila terdapat keberhasilan bersama atau ada keberhasilan orang lain atas jasanya; d) terjaga dari hal-hal yang mengganggu atau menghilangkan keikhlasan seperti riya, ingin pujian; e) bekerja atau bertindak sewajarnya atau proporsional samadya, tidak berlebih overacting; f) pandai bersyukur; dan g) tidak memiliki rasa iri atas kelebihan dan kenikmatan yang dimiliki orang lain.

4. Tangguh, Tanggon, Tatag, Teteg, dan Tutug

Tangguh berarti kuat, memiliki jiwa yang kuat, tidak mudah mengeluh, tidak lembek segala sesuatu yang menimpa pada dirinya dihadapi dengan kekuatan jiwa. Tanggon berarti semangat tinggi tidak mudah menyerah, dan dapat diandalkan. Tatag berarti tiada gentar, tidak memiliki rasa was-was. Masyarakat Sleman tiada gentar, tiada takut, tiada was-was siap menghadapi situasi apapun. Teteg memiliki jiwa atau pendirian yang teguh, tidak mudah tergoyahkan, tidak mudah terpengaruh. Tutug berarti selesai yakni dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, menghadapi peristiwa dengan ketuntasan jiwa, tidak tinggal kokoh menyisakan tugas yang belum terselesaikan. Nilai tangguh, tanggon, tatag, teteg, tutug dilambangkan dalam perisai segi lima berbagai warna pada lambang daerah Kabupaten Sleman.

5. Tembayatan

Tembayatan berarti kerja sama, yang dimaksud bekerja sama antara rakyat, pemerintah/pemimpin, dan pakar. Ketiganya merupakan tiga poros utama dalam mewujudkan Sleman Sembada yakni: S mempunyai makna Sehat, E mempunyai makna Elok dan Edi, M mempunyai makna Makmur dan Merata, B mempunyai makna Bersih dan berbudaya, A memiliki makna Aman dan Adil, D memiliki makna Damai dan Dinamis, A mempunyai makna Agamis (Perda Nomor 4 Tahun 1992 dan Tashadi, dkk: 2002:276). Rakyat sebagai poros pertama karena rakyat sebagai subjek dan objek dari berbagai aktivitas Kabupaten Sleman dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Poros kedua adalah pemerintah dan atau pemimpin. Pemerintahan adalah penyelenggara aktivitas kepemerintahan Kabupaten Sleman (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) Pakar sebagai poros ke tiga yakni para ahli dalam bidangnya (berkompeten). Ketiganya saling bahu membahu, bersinergis, dan berkolaboratif untuk mewujudkan Sleman Sembada.

6. Tepa Salira

Tepa berarti mengukur, Salira berarti badan, artinya mengukur orang lain dengan badan sendiri. Ukuran ini bukan ukuran fisik seperti ukuran pakaian, tetapi ukuran secara psikologis. Dengan tepa salira orang menjadi empati (turut merasakan). Petatah-petitih yang senada dengan tepa salira. Ukuran sesuatu peristiwa dengan ukuran badan sendiri tentunya tepa salira ini selaras dengan kebaikan atau demi kebaikan.

Tata Nilai Budaya Sleman tersebut diharapkan agar benar-benar dapat diimplementasikan oleh segenap Aparat Pemerintah Kabupaten Sleman dan masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat Sleman yang berbudaya serta mendukung Keistimewaan Yogyakarta.

Perbup_Sleman_Nomor_40_Tahun_2019_ttg_Pelindungan_dan_Pengembangan_Tata_Nilai_Budaya_Sleman2.pdf