Tata Nilai Ketuhanan dalam Tata Nilai Budaya Sleman
- home //
- Tata Nilai Ketuhanan dalam Tata Nilai Budaya Sleman
Tata Nilai Ketuhanan dalam Tata Nilai Budaya Sleman
Kabupaten Sleman telah memiliki Peraturan Bupati Sleman Nomor 40 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengembangan Tata Nilai Budaya Sleman. Tata Nilai Budaya Sleman merupakan sistem nilai-nilai budaya lokal Sleman yang mengakar, diyakini, dan diturunkan secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat berbudaya.
Salah satu Tata Nilai Budaya Sleman adalah Tata Nilai Ketuhanan. Tata Nilai Ketuhanan sendiri menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Bupati Sleman Nomor 40 Tahan 2019 tentang Perlindungan dan Pengembangan Tata Nilai Budaya Sleman adalah keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan sehingga manusia melaksanakan perintah dan menjauhi larangan sesuai dengan norma agama yang dianutnya dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tata Nilai Ketuhanan terdiri atas: Narima ing Pandum, Ngundhuh Wohing Pakarti, Sabar, Sumarah, dan Sumeleh, sebagaimana tertuang dalam Lampiran Peraturan Bupati Sleman Nomor 40 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengembangan Tata Nilai Budaya Sleman.
- “Nrima ing pandum” bahwa manusia sekedar menjalani hidup yang dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah urip mung saderma nglakoni, wayang pepindhane, Pangeran minangka dhalang kang amayangake(hidup hanya sekedar menjalani, bisa dikatakan hanya ibarat boneka wayang, Tuhan sebagai dalang yang memainkannya). Perjalanan hidup manusia (nasib dan keberuntungan hidup) tidak terlepas dari takdir Tuhan, yang dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah garising pepesthen (ketentuan Tuhan). Namun begitu, sikap nrima ing pandumbukan berarti harus membelenggu manusia untuk diam tanpa usaha. Dalam budaya Jawa dikenal istilah kodrat bisa diwiradat, artinya apa yang telah digariskan oleh Tuhan sesungguhnya masih dapat diubah dengan ikhtiyar, yakni sebuah usaha untuk menggapai apa yang diinginkan.
- “Ngundhuh wohing pakarti” (memetik hasil perbuatan) menggambarkan bahwa semua ucap dan sikap yang dilakukan oleh seorang umat manusia akan mendapatkan balasan dari Tuhan. Selama ini pemahaman masyarakat tentang istilah ngundhuh wohing pakartihanya digunakan untuk menggambarkan perbuatan yang buruk. Ciri-ciri orang yang sudah memahami, menghayati, dan mengamalkan konsep ngundhuh wohing pakartiseperti Jawa sapa gawe nganggo, sapa nandur ngundhuh„siapa yang membuat pasti akan memakai, siapa yang menanam pasti akan menunai‟.
- “Sabar” berarti “tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu”. Orang yang sabar adalah orang yang bersikap tenang, tidak terburu nafsu, dan tidak lekas marah. Orang yang mampu bersikap sabar tampak dalam sikapnya tidak pernah marah, tidak pernah mengeluh, tenang dalam berpikir, berucap, dan bertindak.
- Sumarah merupakan sikap kepasrahan total kepada kehendak Tuhan. Sumarah bukan berarti pasrah. Sikap sumarah dilakukan setelah semua upaya dilakukan dengan maksimal, dengan usaha keras disertai doa khusyuk kepada Tuhan. Segala ucap dan sikap sumarah “diserahkan‟ senantiasa bersandar kepada Tuhan. Mereka ikhlas (lila legawa) dan dengan sabar menerima (sabar narima) peran dan nasib perjalanan hidupnya. Kematian, jodoh, anugerah, garis nasib, dan rejeki bagi tiap-tiap orang merupakan kepastian yang telah ditentukan oleh Tuhan (siji pesthi, loro jodho, telu wahyu, papat kodrat, lima bandha). Manusia sekadar menjalani hidup ini (manungsa saderma nglakoni, kaya wayang upamané) sebagaimana digariskan oleh Tuhan. Dalam hal ini mereka sudah sumarah, dengan ungkapan pati urip, beja cilaka ana ing ngarsaning Gusti(mati hidup beruntung celaka itu ada di tangan Tuhan).
- Sumeleh Kalau sumarah berdimensi Ketuhannan, sumeleh ini berdimensi kemanusiaan. Sumarah merupakan sikap keprasrahan total seorang hamba kepada Tuhannya.Pada sisi lain kata “sumeleh” berasal dari kata Jawa “seleh‟ yang berarti “diletakkan‟, dengan kata lain “lereh” (berhenti); “lerem” (tenang) (Poerwadarminta, 1939:549). Kata “sumeleh” digunakan untuk menyebut seseorang yang sudah mampu melepas beban pikiran terhadap sesuatu hal. Mereka adalah orang-orang yang sudahbisa sumelehsering disebut dengan istilah wis menep. Orang yang sudah menep hatinya benar-benar sudah tenang, sudah tidak memiliki kekhawatiran apapun tentang hidupnya, tetap guyub rukun, hidup dengan harmoni.
Tata Nilai Budaya Sleman tersebut diharapkan agar benar-benar dapat diimplementasikan oleh segenap Aparat Pemerintah Kabupaten Sleman dan masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat Sleman yang berbudaya serta mendukung Keistimewaan Yogyakarta.
Perbup_Sleman_Nomor_40_Tahun_2019_ttg_Pelindungan_dan_Pengembangan_Tata_Nilai_Budaya_Sleman21.pdf