Upacara Adat Tunggul Wulung Sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia
- home //
- Upacara Adat Tunggul Wulung Sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia
Upacara Adat Tunggul Wulung Sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia
Upacara Adat Tunggul Wulung adalah salah satu dari warisan budaya Takbenda Indonesia dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang masuk dalam domainAdat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-perayaan jika mengacu pada konvensi UNESCO Tahun 2003 Convention for the safeguarding of Intangible Cultural Heritage, yang telah disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 tentang pengesahan Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage.
Warisan Budaya Takbenda Indonesia merunut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia adalah, berbagai hasil praktek, perwujudan, ekspresi pengetahuan dan keterampilan, yang terkait dengan lingkup budaya, yang diwariskan dari generasi kegenerasi secara terus menerus melalui pelestarian dan/atau penciptaan kembali serta merupakan hasil kebudayaan yang berwujud budaya takbenda setelah melalui proses penetapan Budaya Takbenda.
Upacara Adat Tunggul Wulung adalah salah satu bentuk upacara bersih desa di Sendangagung, Kapanewon Minggir, Kabupaten Sleman. Upacara ini dilaksanakan sebagai perwujudan rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan, agar mendapatkan berkah dan kesejahteraan serta perlindungan dari segala bencana. Secara khusus, upacara ini sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap Ki Ageng Tunggul Wulung, seorang tokoh yang dipercaya sebagai seorang bangsawan dari kerajaan Majapahit. Keberadaan tokoh ini yang kemudian dipercaya oleh masyarakat sebagai perantara dalam memohon kesejahteraan hidup dan perlindungan dari bencana kepada Tuhan, sehingga memunculkan Upacara Adat Tunggul Wulung yang dilaksanakan turun temurun secara rutin.
Upacara adat ini dilaksanakan pada hari Jumat Pon, setelah musim panen, sekitar Bulan Agustus, setahun sekali. Dipilihnya hari Jumat Pon sebagai hari yang dikeramatkan karena pada hari itu terjadi peristiwa moksa Ki Ageng Tunggul Wulung beserta istri dan seluruh pengikutnya dan binatang peliharaannya. Peristiwa moksa ini terjadi ketika dilakukan tirakat untuk mendapatkan petunjuk pada lokasi di bawah Pohon Timoho di dekat Sungai Progo, yaitu dusun Dukuhan Sendangagung, Minggir, Sleman. Lokasi tersebut kemudian dibuatkan nisan seperti layaknya makam yang dipahami oleh masyarakat sebagai tempat melakukan ziarah dan tirakat, terutama pada malam Jumat Pon. Berkaitan dengan makam tersebut, suatu peristiwa terjadi hilangnya seorang penari tayub yang sedang melaksanakan tirakat untuk memperoleh keselamatan dan penglarisan, sehingga sejak saat itu upacara adat ini selalu disertai dengan tayub dan sesaji. Tayuban yang pada intinya bertujuan untuk kesuburan, wajib dilaksanakan dalam rangkaian pelaksanaan, yang berfungsi sebagai pengesah (legitimasi) dalam upacara bersih desa.
Adapun prosesi upacara tersebut diawali dari Sendang Beji atau Diro menuju petilasan moksa Ki Tunggul Wulung. Pada waktu yang bersamaan dari Kantor Desa Sendangagung juga diberangkatkan semua hasil yang ada di wilkayahnya dengan diiringi kesenian kesenian tradisional. Setelah dipertigaan dusun Dukuhan iring-iringan yang dieberangkatkan baik dari Sendang Agung maupun dari Kantor Desa Sendang Agung bertemu di tengah jalan lalu bersama-sama menuju tempat moksa (hilang beserta raga) Ki Tunggul Wulung. Akan tetapi sebelumnya dibawa ke rumah juru kunci dan disana diadakan upacara dan tari tayub kemudian kenduri yang dilanjutkan ziarah ke petilasan moksanya Ki Tunggul Wulung. Disana juga digelar tari tayub dan malamnya diadakan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk.
Upacara adat ini pada perkembangannya mampu mempertahankan esensinya dan bahkan mampu memberikan peran dan memperkuat fungsi agama, sosial, budaya dan ekonomi kepada masyarakat pendukungnya. Secara khusus, upacara adat ini mampu mewujudkan nilai-nilai kehidupan seperti gotong royong, kerukunan, kebersamaan membangun dalam masyarakat, serta meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (dv)